Harga minyak jatuh di tengah perdagangan yang bergejolak Selasa (3/1/2023), karena pelemahan permintaan Tiongkok, suramnya prospek ekonomi global, serta penguatan dolar AS.
Harga minyak Brent berjangka pengiriman Maret turun US$ 3,58, atau 4,2%, menjadi US$ 82,33 per barel, penurunan harian terbesar dalam lebih 3 bulan.
Sementara harga minyak mentah AS ambles US$ 3,11 (3,9%) menjadi US$ 77,15 per barel, penurunan terbesar dalam sebulan. Sejatinya, kedua tolok ukur harga minyak telah naik US$ 1 per barel di awal sesi.
“Ada banyak alasan kekhawatiran, situasi Covid-19 Tiongkok dan ketakutan akan resesi di masa mendatang memberikan tekanan pada pasar minyak,” kata analis Mizuho Robert Yawger.
Pemerintah Tiongkok menaikkan kuota ekspor produk minyak sulingan pada gelombang pertama tahun 2023. Pedagang mengaitkan peningkatan tersebut dengan buruknya permintaan domestik karena importir minyak mentah terbesar dunia terus berjuang melawan gelombang infeksi Covid-19.
Aktivitas pabrik Tiongkok Desember juga menyusut karena lonjakan infeksi mengganggu produksi dan membebani permintaan setelah Beijing menghapus pembatasan anti-virus.
Menambah prospek ekonomi yang suram, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva pada Minggu (1/1/2023) mengatakan ekonomi Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok akan melambat secara bersamaan, membuat ekonomi global tahun 2023 lebih sulit dari tahun 2022.
Sementara dolar membukukan kenaikan 1 hari terbesar dalam 2 minggu. Penguatan dolar dapat mengurangi permintaan minyak karena komoditas berdenominasi dolar menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Pada Rabu, pasar akan mencermati risalah pertemuan kebijakan Desember Fed AS. The Fed menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada bulan Desember setelah empat kenaikan berturut-turut masing-masing sebesar 75 bps.