Beranda Bisnis Melanie Perkins, Dulu Ditolak Para Investor Kini Taipan Muda Dunia

Melanie Perkins, Dulu Ditolak Para Investor Kini Taipan Muda Dunia

163
0
Melanie Perkins, Dulu Ditolak Para Investor Kini Taipan Muda Dunia
Melanie Perkins, Dulu Ditolak Para Investor Kini Taipan Muda Dunia

Kesuksesan aplikasi Canva dalam dunia desain membuat Melanie Perkins menjadi salah satu orang terkaya di dunia.

Aplikasi yang digunakan lebih dari 60 juta pengguna itu kini menjadi salah satu alternatif bagi yang masih awam menggunakan Adobe Express. Diluncurkan pada 2013 silam, Canva memiliki segudang fitur dan tools memudahkan dalam pembuatan desain.

Mengutip berbagai sumber, Melanie Perkins lahir dan tumbuh di keluarga multikultural. Ayahnya berasal dari Malaysia, sedangkan ibunya berasal dari Australia. Kedua orang tuanya memiliki latar belakang di industri teknik dan pendidikan.

Perempuan kelahiran 1987 itu memiliki jiwa wirausaha sejak dini. Sejak kecil, ia sudah memulai menjalankan bisnis. Bisnis pertamanya ia lakukan saat berusia 14 tahun dengan menjual syal buatan tangan di sekitar pasar Perth.

Perkins mengenyam pendidikan di Sacred Heart College. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil jurusan komunikasi, psikologi, dan perdagangan dari University of Western Australia.

Sembari kuliah, Perkins aktif mengajar siswa desain komputer dasar sebagai bagian dari jurusannya.

READ  LPEI Genjot Ekspor Lada Sambas Lewat Desa Devisa

Dari situlah ia mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan platform desain grafis yang lebih mudah dan efisien setelah melihat murid-muridnya berjuang untuk menggunakan Adobe Photoshop dan platform desain kompleks lainnya.

Perkins bersama Cliff Obrect, yang kini menjadi suaminya, kemudian mendirikan Fusion Books pada 2007.

Fusion Books adalah platform yang memungkinkan siswa mendesain buku tahunan sekolah mereka sendiri dengan menggunakan alat drag-and-drop yang menampilkan berbagai templat desain.

Ia mengembangkan platform tersebut di tempat ibunya di mana orang tuanya membantunya mencetak buku tahunan itu.

Tak lama, ia mulai terhubung dengan orang-orang di perguruan tinggi dan universitas untuk mendapatkan klien baru untuk bisnisnya. Fusion Books mulai berkembang dan menjadi perusahaan buku tahunan terbesar di seluruh Australia.

Namun di tengah jalan, Fusion Books kehabisan dana untuk tumbuh dan ekspansi. Dua sejoli itu kemudian mencari bantuan dari pemodal ventura. Sayangnya, tidak ada yang setuju dan percaya pada ide tersebut.

READ  Respons Jokowi Soal Polemik Perppu Cipta Kerja: Biasa, Semua Kita Bisa Jelaskan

Selama periode tersebut Fusion Books kemudian berubah nama menjadi Canva Inc. Hingga perubahan nama tersebut, Perkins dan Obrecht masih sulit untuk mendapatkan dana dari investor. Diketahui dirinya ditolak oleh lebih dari seratus investor di Perth.

Peluang kemudian muncul ketika investor terkemuka Bill Tai mengunjungi Perth pada 2011 untuk menilai kompetisi start-up.

Perkins dan Obrecht berhasil mengajukan Canva saat makan malam yang diselenggarakan Tai tetapi lagi-lagi tidak menerima dana.

Dari Bill Tai, Perkins mendapat undangan ke pertemuan kite-surfing di mana banyak investor teknologi lainnya juga bergabung.

Beberapa dari pertemuan ini diadakan di Silicon Valley, di mana Perkins dan Obrecht menyentuh setiap kesempatan yang mereka bisa, tetapi tetap tidak bisa mendapatkan bantuan.

Hingga akhirnya, pada 2012, seorang mantan eksekutif Google bergabung yakni Cameron Adams yang memiliki keahlian teknis yang relevan.

Setelah dua putaran pendanaan awal, perusahaan secara resmi diluncurkan pada 2013. Perkins menjadi CEO Canva, Obrecht ditunjuk sebagai COO, sementara Adams sebagai CPO.

READ  Smartwatch Terbaik Lengkap dan Mengilap

Canva mulai berkembang dan mendiversifikasi operasi bisnisnya dengan sangat cepat.

Pada tahun pertama, mereka memiliki lebih dari 600 ribu pengguna. Perusahaan juga memperluas jangkauannya ke tempat-tempat seperti Beijing dan Manila. Seiring berlalunya waktu, perusahaan terus menambahkan lebih banyak fitur pembeda ke platformnya.

Bahkan dengan sedikit diversifikasi di luar Australia, Melanie menjadi populer di Silicon Valley dan di antara bisnis teknologi di Amerika Serikat. Pada 2016, ia dinobatkan sebagai salah satu pengusaha muda sukses versi Forbes ’30 Under 30′ di Asia.

Pada 2020, Canva mengumpulkan US$60 juta dan valuasi perusahaan naik menjadi US$6 miliar menjadikan Perkins wanita terkaya ketiga di Australia dengan kekayaan bersih sebesar US$1,3 miliar.

Tahun ini, Forbes mencatat kekayaan Melanie Perkins telah mencapai US$6,5 miliar atau sekitar Rp100,75 triliun (asumsi kurs Rp15.500 per dolar AS). Kekayaannya membuat ia menjadi orang terkaya ke-386 di dunia.